Senin, November 26, 2007

Kebijakan Penambangan Terumbu Karang

oleh Gede R. Wiadnya, dan Marthen Welly

EKOSISTEM terumbu karang Indonesia sangat penting secara nasional, regional maupun global - luas total terumbu karang dunia mencapai 284.300 km2. Dari luas tersebut, perairan Indonesia memiliki terumbu karang yang paling luas, yaitu 51.020 km2 (18% dari luas terumbu karang dunia) lalu diikuti Australia (sekitar 48.000 km2) dan Filipina (sekitar 25.000 km2). Karena luasnya dan keanekaragaman jenisnya yang sangat tinggi, Indonesia disebut-sebut para ahli kelautan sebagai jantung kawasan segitiga karang dunia (the center of global coral triangle).

Sayangnya dewasa ini, terumbu karang Indonesia mengalami ancaman serius akibat pembangunan yang hanya bertumpu terutama pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memerhatikan aspek keberlanjutan sumber daya yang ada. Ancaman utama terhadap kerusakan eksosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan secara destruktif (destructive fishing) dan penangkapan berlebih (over-fishing).

Aktivitas lain yang juga berpotensi menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang Indonesia antara lain pembangunan di wilayah pesisir, polusi di laut dan sedimentasi karena kerusakan hutan di bagian hulu, dan tentu saja, penambangan karang. Dalam banyak kasus, terumbu karang ditambang untuk kegunaan bahan bangunan. Ada pula yang diolah menjadi beragam souvenir, aksesoris, dan perhiasan.

Hasil pemantauan baru-baru ini dari berbagai lembaga penelitian menunjukkan hanya tinggal 7-10% saja terumbu karang Indonesia dalam kondisi baik. Lebih dari 70% rusak. Sebagai masyarakat awam, kita juga dapat ikut serta dalam mengurangi ancaman terhadap terumbu karang dengan cara yang sangat sederhana. Misalnya, menghindari penggunaan bahan bangunan, souvenir dan perhiasan berbahan dasar karang atau dengan tidak membuang sampah ke laut.

Manfaat Ekonomis
Selain keindahannya, terumbu karang juga punya manfaat penting lainnya. Ekosistem terumbu karang punya nilai manfaat dalam bentuk use value maupun non-use value (sama-sama mempunyai kegunaan ketika dimanfaatkan maupun dibiarkan). Hasil studi yang dilakukan Herman Cesar (1996) dan Hargreaves-Allen (2004) menyajikan keuntungan ekonomi dari berbagai tipe pemanfaatan terumbu karang.

Pada kategori tutupan karang Indonesia yang cukup baik, kegiatan penambangan karang diperkirakan menghasilkan keuntungan ekonomis setara US$ 121.000 per km2 luasan karang. Namun hal ini akan menyebabkan kerugian dari perikanan tangkap setara US$93.600, perlindungan pantai setara US$260.000, dari pariwisata setara US$481.900, kerusakan hutan setara US$ 67.000 dan kerugian lain (penyediaan pangan dan keanekaragaman hayati) yang belum bisa dihitung secara kuantitatif.

Singkatnya, terumbu karang di Indonesia diperkirakan mempunyai total nilai ekonomis setara US$912.500 per km2. Selama ini, terumbu karang di Indonesia selalu dieksploitasi secara tidak ramah lingkungan (environmentally non-benign) dan tidak berkelanjutan (unsustainable) seperti penambangan karang contohnya. Padahal, pemanfaatan seperti itu memberi manfaat ekonomis yang jauh lebih rendah dibanding pemanfaatan secara berkelanjutan.

Singkatnya, berbagai temuan ilmiah telah membuktikan pemanfaatan karang secara berkelanjutan memberi keuntungan ekonomis hampir delapan kali lipat dibandingkan dengan usaha penambangan karang yang tidak berkelanjutan. Dalam 100 tahun terakhir, ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mengalami tingkat kerusakan sepuluh kali lipat dibandingkan dengan kondisi alami pada tahun 1900-an.

Kebijakan Penambangan Karang
Melihat fakta terumbu karang Indonesia yang semakin menurun saat ini, sudah sewajarnya jika kebijakan pemberian kuota terhadap penambangan karang ditinjau kembali. Disinyalir kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat ini turut memberikan kontribusi terhadap berkurangnya terumbu karang Indonesia. Pemerintah melalui Ditjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memberikan kuota penambangan karang pada 15 wilayah perairan di Indonesia untuk kepentingan ekonomi, yakni perdagangan di dalam negeri maupun ekspor.

Berdasarkan Surat Keputusan Ditjen PHKA No 33/IV-KKH/2007, besarnya kuota pada tahun 2007 mencapai 1,7 juta bongkah karang dan 405 ton karang yang tidak bisa diidentifikasi. Dari kuota tersebut, diperkirakan luas terumbu karang di Indonesia akan berkurang sekitar 350 ha per tahun. Jika keran kebijakan kuota pengambilan karang tetap dibuka, maka hal ini merupakan ancaman serius terhadap ekosistem laut Indonesia dan akan semakin mempercepat kerusakan terumbu karang di Indonesia.

Kendala lain adalah kebijakan tentang kuota ini belum tersosialisasikan secara merata kepada semua pemerintah daerah di Indonesia. Hal ini sering menimbulkan ketidakjelasan, bahkan konflik, di wilayah-wilayah perairan di mana penambangan karang diizinkan. Contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur yang menimbulkan sengketa antara Pemerintah Alor, PT Subur Mas dan BKSDA NTT.

Sebagai upaya menjaga sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk terumbu karang, Departemen Kelautan dan Perikanan mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU-PWP) kepada DPR. Pada tahun 2007 ini, DPR telah menyetujui RUU-PWP tersebut. Pasal 73 ayat 1a menyatakan, kegiatan menambang dan mengambil terumbu karang merupakan kegiatan melanggar hukum, termasuk penggunaan bom dan sianida.
Mudah-mudahan UU-PWP ini nantinya dapat diberlakukan secara efektif untuk melindungi terumbu karang Indonesia dari kerusakan, sehingga Indonesia tetap menjadi jantung segitiga karang dunia.

Penulis bekerja pada TNC-CTC: The Nature Conservancy's Coral Triangle Center.
sumber : http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=23875

Minggu, November 11, 2007

Perluasan Bandara Ngurah Rai, antara Impian dan Kenyataan

oleh Marthen Welly

SEJAK didirikan Bandara Ngurah Rai telah menuai kritik, karena landasan pacunya yang sebagian didirikan dengan mereklamasi laut di wilayah Tuban, Bali Selatan itu ditunding sebagai salah satu penyebab terjadinya abrasi yang cukup parah di pantai Kuta. Akibat landasan pacu yang menjorok ke laut, sehingga arah arus yang semula dapat mencapai bibir pantai Tuban, berbelok arah membentur pantai Kuta sehingga menyebabkan abrasi.

Beberapa hal perlu dikaji apakah perluasan Bandara Ngurah Rai lebih banyak memberi manfaat buat Bali atau justru banyak menimbulkan masalah. Grand design pariwisata Bali jangka panjang pun sangat erat terkait dengan kebutuhan lapangan terbang yang memadai, aman, dan modern. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, apakah saat ini Bandara Internasional Ngurah Rai sudah tidak mampu lagi mengakomodasi pesawat-pesawat yang datang membawa para turis baik domestik maupun mancanegara? Lantas apakah kapasitas daya dukung lingkungan di Bali siap jika proyeksi kedatangan para turis ke Bali akan ditingkatkan dua kali lipat dari katakanlah 5.000 orang turis per hari menjadi 10.000 orang turis per hari dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang misalnya?

Jika landasan pacu Bandara Ngurah Rai harus diperpanjang, pilihannya adalah kembali mereklamasi laut atau mengorbankan hutan bakau (mangrove). Dari sisi lingkungan hal ini sangat tidak menguntungkan. Saat ini di tengah isu pemanasan global dan meningkatnya permukaan air laut akibat melelehnya es di kutub, negara-negara kepulauan di dunia tengah bersiap-siap untuk melindungi pulau mereka. Terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau adalah benteng alami yang wajib dipertahankan untuk menghambat empasan gelombang atau naiknya air laut ke daratan. Pantai utara Jakarta adalah contoh nyata, akibat hutan bakau banyak dikonversi menjadi perumahan dan tempat industri, maka belakangan ini air laut kerap naik ke daratan dan menyebabkan banjir. Hal ini dapat juga terjadi di Bali Selatan, jika hutan bakau yang ada terus dikonversi menjadi perumahan, sarana wisata, termasuk bandara. Hutan bakau juga merupakan benteng alami yang dapat mengurangi empasan air laut jika tsunami terjadi.

Konflik kepemilikan lahan antara pihak hotel dan restoran dengan masyarakat, kian kerap terdengar. Meningkatnya jumlah turis yang datang ke Bali, menuntut tersedianya sarana yang memadai termasuk hunian kamar di hotel atau resort. Akibatnya hotel-hotel baru terus dibangun, dan konversi lahan-lahan pertanian juga terus berlangsung, demikian juga dengan pantai. Secara sosial kedatangan jumlah turis yang semakin banyak, juga perlu diimbangi dengan peningkatan pengamanan. Kejahatan yang dilakukan para turis juga sering kita dengar mulai dari penggunaan dan peredaran obat-obatan terlarang hingga perbudakan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.

Masih segar di ingatan dan berlangsung hingga saat ini perjuangan Pemda Bali untuk mendapatkan porsi pembagian pendapatan yang lebih besar dari Bandara Ngurah Rai. Secara ekonomi, pendapatan dari Bandara Ngurah Rai justru lebih banyak dinikmati oleh pusat, sementara Bali sang pemilik lahan tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan. Di sisi lain, dampak-dampak yang ditimbulkan akibat keberadaan Bandara Ngurah Rai sepenuhnya harus ditanggung oleh Bali.

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut, jelaslah bahwa keinginan untuk memperluas Bandara Internasional Ngurah Rai perlu dikaji ulang, paling tidak ditunda sampai menemukan alternatif yang lebih baik. Jika kebutuhan bandara semakin tinggi untuk mengantisipasi kenaikan jumlah turis yang datang ke Bali di masa-masa yang akan datang, salah satu alternatif yang layak dipertimbangkan adalah membuat bandara baru di Bali Utara. Hal ini bukan saja akan dapat membagi beban yang saat ini dihadapi oleh Bandara Internasional Ngurah Rai, akan tetapi juga mempercepat pemerataan pembangunan di Bali Utara, termasuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat di Bali Utara.

Pertimbangan perluasan Bandara Internasional Ngurah Rai hendaknya tidak didasarkan pada mimpi bahwa Bali akan menjadi tujuan pariwisata terbesar di Asia, apalagi demi menaikkan prestise semata. Akan tetapi berdasarkan perhitungan-perhitungan matang berdasarkan kenyataan yang ada saat ini.

sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/10/o3.htm

Rabu, November 07, 2007

Global Warming dan Terumbu Karang

Oleh Marthen Welly

Akhir-akhir ini pembicaraan mengenai pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan perubahan iklim (climate change) kian ramai dibicarakan dan menjadi pusat perhatian dunia. Terlebih lagi, pada bulan Desember yang akan datang, perhelatan tingkat dunia mengenai perubahan iklim akan diadakan di Bali dibawah koodinasi perserikatan bangsa-bangsa. Pertemuan akbar yang disebut COP 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) akan dihadiri kurang lebih perwakilan pemerintahan 120 negara dan sekitar 10.000 peserta.

Pada intinya agenda utama UNFCCC adalah mempersiapkan bumi kita ini agar dapat mengurangi pemanasan global dan mengatasi dampaknya. Beberapa isu utama yang akan dibahas seperti kerusakan hutan,perdagangan karbon, dan penerapan protokol Kyoto. Sejauh ini hutan dipercaya sebagai paru-paru dunia yang dapat mengikat emisi karbon yang dilepaskan ke udara oleh pabrik-pabrik industri, kendaraan bermotor, kebakaran hutan, asap rokok dan banyak lagi sumber-sumber emisi karbon lainnya, sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global.

Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan cukup luas di dunia, sangat memainkan peran penting untuk bisa menjaga paru-paru dunia. Namun sesungguhnya Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan, juga memiliki fungsi dan peran cukup besar dalam mengikat emisi karbon, bahkan dua kali lipat dari kapasitas hutan. Emisi karbon yang sampai ke laut, diserap oleh phytoplankton yang jumlahnya sangat banyak dilautan, dan kemudian ditenggelamkan ke dasar laut atau diubah menjadi sumber energi ketika phytoplankton tersebut dimakan oleh ikan dan biota laut lainnya.

Namun, pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang merupakan jantung kawasan segitiga karang dunia (heart of global coral triangle). Pemanasan global telah meningkatkan suhu air laut sehingga terumbu karang menjadi stress dan mengalami pemucatan/pemutihan (bleaching).Jika terus berlangsung terumbu karang tersebut akan mengalami kematian. Disisi lain coral triangle memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Lebih dari 120 juta orang hidupnya bergantung pada terumbu karang dan perikanan di kawasan tersebut. Coral triangle yang meliputi Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor leste, Papua New Guinea and Kepulauan Salomon ini, merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu karang.

Melihat peran dan posisinya yang strategis, maka President Republik Indonesia – Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan APEC di Sydney baru-baru ini, telah mengumumkan sekaligus mengajak negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Pacific untuk menjaga dan melindungi kawasan segitiga karang dunia yang dikenal dengan nama Coral Triangle. Indonesia bersama lima negara lainnya yaitu Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea and Kepulauan Salomon mengumumkan sebuah inisiatif perlindungan terumbu karang yang disebut Coral Triangle Initiative (CTI). Ke-enam negara yang tergabung dalam CTI disebut sebagai CT6. Inisiatif ini juga telah mendapatkan dukungan dan respon yang positif dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia.

Coral triangle adalah sebuah kawasan di Asia-Pacific yang dalam 2 dekade belakangan ini menjadi pusat penelitian para ahli kelautan dunia. Pada tahun 2005, The Nature Conservancy Coral Triangle Center (TNC-CTC) – sebuah lembaga konservasi internasional yang juga menjalankan programnya di Indonesia dan negara-negara pacific, mengadakan sebuah workshop internasional di Bali dengan dihadiri para pakar kelautan dunia, dengan tujuan untuk menetapkan batas cakupan wilayah coral triangle. Pada akhir workshop,para pakar kelautan berhasil memetakan coral triangle yang mencakup 6 negara dengan luas total terumbu karang 75.000 Km2. Indonesia sendiri memiliki luas terumbu karang sekitar 51.000 Km2 yang menyumbang lebih dari 21% luas terumbu karang dunia.

Departemen Kelautan dan Perikanan, TNC-CTC, WWF Indonesia, dan Departemen Kehutanan secara bersama-sama menggagas CTI. Dan saat ini CTI telah menjadi salah satu agenda utama Indonesia bersama 5 negara lainnya. CTI akan lebih disuarakan dan disosialisasikan selama pertemuan UNFCCC sehingga mendapatkan dukungan yang lebih besar dari masyarakat internasional.

Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut, terutama terumbu karang melalui CTI sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan dan upaya mengurangi kemiskinan. Mengingat fungsi penting terumbu karang adalah sebagai tempat berkembang-biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan dan biota laut lainnya. Jika terumbu karang terjaga baik, maka sumber perikanan juga akan terus memberikan pasokan makanan bagi manusia, termasuk sumber protein. Ditambah lagi fungsi terumbu karang juga adalah sebagai pelindung alami pantai dari gempuran ombak dan aset pariwisata bahari.

Suatu langkah yang tepat dan strategis jika Indonesia berinisiatif untuk menyuarakan sekaligus memimpin CTI, mengingat Indonesia merupakan negara dengan luas terumbu karang terluas dan keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia. Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia sekitar 81.000 Km yang melingkupi lebih dari 17.500 pulau. Berdasarkan penelitian TNC-CTC dan para mitranya pada tahun 2002, kepulauan Raja Ampat di Papua Barat, Indonesia memiliki 537 jenis karang yang merupakan jumlah tertinggi di dunia, dan merupakan 75% jenis karang dunia yang pernah ditemukan. Jika Indonesia tidak menyuarakan dan mengambil inisiatif untuk perlindungan terumbu karang di coral triangle, maka negara-negara lain seperti Philipina atau Malaysia yang akan menyuarakan sekaligus memimpin CTI. Dengan memimpin CTI, Indonesia mendapatkan peran dan posisi penting dalam upaya perlindungan terumbu karang dunia. Sekaligus melindungi aset bangsa yang tak ternilai harganya.

Pembentukan jejaring Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang tangguh dan dikelola secara efektif merupakan bentuk nyata dari impelementasi CTI. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi paling tidak 10 juta hektar laut di perairan Indonesia pada tahun 2010. Saat ini paling tidak 5 juta hektar telah dibentuk KPL di Indonesia yang meliputi Kepulauan Raja Ampat, TN Teluk Cendrawasih, Kepulauan Wakatobi, Kepulauan Derawan, TN Komodo, TN Bunaken, TN Karimunjawa, TN Kepulauan Seribu, dan TN Takabonerate.

sumber : www.indonesiareef.com
www.balebengong.net