Kamis, Mei 22, 2008

Tarian Eksotik Mola Mola di Nusa Penida

Oleh Marthen Welly (TNC)

Tidak lama lagi perairan di sekitar Nusa Penida akan dipenuhi oleh para penyelam dari manca negara. Hal ini bukan karena ada event besar tertentu di Nusa Penida, tetapi melainkan karena musim mola- mola telah tiba. Diperkirakan mola-mola sudah dapat terlihat diperairan Nusa Penida pada bulan Juni mendatang. Bahkan minggu lalu sudah ada penyelam yang melihat keberadaan 2 ekor mola-mola di sekitar crystal bay.

Laut disekitar Nusa Penida memang dikenal memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat menarik. Itu sebabnya, setiap tahun, puluhan ribu penyelam datang dari penjuru dunia untuk menikmati keindahan bawah laut Nusa Penida. Disamping terumbu karang yang berwarna-warni dengan aneka jenis ikan karang, perairan Nusa Penida juga rumah bagi hewan laut langka seperti pari manta (manta ray), penyu (sea turtle), paus dan lumba-lumba (cetacean).

Namun diantara semuanya itu, ikan mola-mola (oceanic sunfish) merupakan hewan laut yang fenomenal dan menjadi icon bagi dunia bawah laut Nusa Penida. Bentuknya yang unik, besar di bagian kepala dengan mata jenaka dan dua sirip yang menjulang seperti tanpa ekor sangat menarik bagi para penyelam. Terlebih ketika mola-mola mendongakan kepalanya dan merentangkan kedua siripnya seperti layaknya sedang melakukan tarian penyambutan bagi para penyelam.

Mola-mola kerap muncul di perairan Nusa Penida sekitar bulan Juli - November setiap tahunnya. Dua titik penyelaman favorit dimana mola-mola biasa dijumpai yaitu Blue Corner dan Crystal Bay. Sering mola-mola dijumpai bergerombol 2 sampai 8 ekor. Namun beberapa penyelam mengatakan bahwa mereka juga sesekali melihat mola-mola di titik penyelaman yang lain pada bulan Desember atau Januari.

Tidak banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap mola-mola sampai saat ini. Nama mola-mola sendiri berasal dari bahasa latin yaitu Molidae, karena mola-mola termasuk kedalam keluarga (family) Molidae. Mola-mola ini berada pada ordo yang sama dengan ikan buntal (boxfish) yaitu tetraondoniformes. Ukuran rata-rata mola-mola sekitar 1.8 meter, dan ukuran terbesar yang pernah ditemukan sekitar 3.4 meter.

Mola-mola dapat dijumpai pada perairan dengan kedalaman 30 – 500 meter. Mola-mola juga disebut oceanic sunfish karena mola-mola kerap dijumpai “berjemur”di lautan terbuka yang dangkal untuk mendapatkan panas matahari sebagai adaptasi suhu tubuh setelah berada lama di perairan dalam. Keberadaan dan distribusi mola-mola juga dikaitkan dengan keberadaan makanan (nutrient) pada musim-musim tertentu. Makanan mola-mola berupa zooplankton, ubur-ubur, ikan-ikan kecil dan udang.

Sejauh ini ada tiga jenis mola-mola yang telah ditemukan yaitu Sharp-tailed mola (Masturus lanceolatus) yang memiliki ekor agak panjang dan pipih, Slender mola (Ranzania laevis) yang memiliki ekor dan bentuk tubuh seperti silinder dengan ukuran badan beberapa puluh centimeter saja, dan Rountailed mola (Mola-mola) yang memiliki ekor membulat. Jenis yang terakhir inilah yang dijumpai di Nusa Penida.

Walaupun sangat menarik dan merupakan aset penting pariwisata bahari, keberadaan mola-mola bukan tanpa ancaman. Sering didapati, secara tak sengaja mola-mola mati akibat terjerat pancing dan jaring (by catch). Jumlah penyelam yang terlalu banyak, dan kadang “memaksa” untuk mengambil gambar bersama mola-mola dengan jarak yang terlalu dekat juga mengusik keberadaan mola-mola. Bahkan beberapa mola-mola dijumpai mati akibat menelan plastik yang mereka kira ubur-ubur sebagai makanannya.

Jika ingin pariwisata bahari di Bali, khususnya Nusa Penida dapat terus dipertahankan, diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk mengatur pariwisata bahari di Nusa Penida sekaligus menjaga keberadaan mola-mola dan hewan laut lainnya.

Saat ini, The Nature Conservancy (TNC) bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Klungkung, masyarakat, conservation international, pengusaha pariwisata dan mitra lainnya saat ini dalam proses awal membangun sebuah Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Nusa Penida. Tujuan TNC membangun KKL ini adalah untuk melestarikan sumberdaya hayati laut Nusa Penida termasuk mola-mola. Pengaturan wisata bahari Nusa Penida melalui code of conduct akan merupakan bagian dari rencana pengelolaan (management plan) jangka panjang KKL Nusa Penida.

Pengembangan KKL Nusa Penida dilakukan dengan satu harapan bahwa sumberdaya hayati laut termasuk mola-mola akan dapat terjaga dan pariwisata bahari dapat terus berkelanjutan yang merupakan salah satu sumber matapencaharian utama masyarakat Nusa Penida. Terlebih dari itu, para penyelam dari mancanegara dapat terus menikmati tarian eksotik mola-mola di dunia bawah laut Nusa Penida.

Sumber : dari berbagai sumber
http://www.balebengong.net/2008/05/21/tarian-eksotik-mola-mola-di-nusa-penida/
http://www.indonesiareef.com/?show=blog&id=87

Senin, November 26, 2007

Kebijakan Penambangan Terumbu Karang

oleh Gede R. Wiadnya, dan Marthen Welly

EKOSISTEM terumbu karang Indonesia sangat penting secara nasional, regional maupun global - luas total terumbu karang dunia mencapai 284.300 km2. Dari luas tersebut, perairan Indonesia memiliki terumbu karang yang paling luas, yaitu 51.020 km2 (18% dari luas terumbu karang dunia) lalu diikuti Australia (sekitar 48.000 km2) dan Filipina (sekitar 25.000 km2). Karena luasnya dan keanekaragaman jenisnya yang sangat tinggi, Indonesia disebut-sebut para ahli kelautan sebagai jantung kawasan segitiga karang dunia (the center of global coral triangle).

Sayangnya dewasa ini, terumbu karang Indonesia mengalami ancaman serius akibat pembangunan yang hanya bertumpu terutama pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memerhatikan aspek keberlanjutan sumber daya yang ada. Ancaman utama terhadap kerusakan eksosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan secara destruktif (destructive fishing) dan penangkapan berlebih (over-fishing).

Aktivitas lain yang juga berpotensi menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang Indonesia antara lain pembangunan di wilayah pesisir, polusi di laut dan sedimentasi karena kerusakan hutan di bagian hulu, dan tentu saja, penambangan karang. Dalam banyak kasus, terumbu karang ditambang untuk kegunaan bahan bangunan. Ada pula yang diolah menjadi beragam souvenir, aksesoris, dan perhiasan.

Hasil pemantauan baru-baru ini dari berbagai lembaga penelitian menunjukkan hanya tinggal 7-10% saja terumbu karang Indonesia dalam kondisi baik. Lebih dari 70% rusak. Sebagai masyarakat awam, kita juga dapat ikut serta dalam mengurangi ancaman terhadap terumbu karang dengan cara yang sangat sederhana. Misalnya, menghindari penggunaan bahan bangunan, souvenir dan perhiasan berbahan dasar karang atau dengan tidak membuang sampah ke laut.

Manfaat Ekonomis
Selain keindahannya, terumbu karang juga punya manfaat penting lainnya. Ekosistem terumbu karang punya nilai manfaat dalam bentuk use value maupun non-use value (sama-sama mempunyai kegunaan ketika dimanfaatkan maupun dibiarkan). Hasil studi yang dilakukan Herman Cesar (1996) dan Hargreaves-Allen (2004) menyajikan keuntungan ekonomi dari berbagai tipe pemanfaatan terumbu karang.

Pada kategori tutupan karang Indonesia yang cukup baik, kegiatan penambangan karang diperkirakan menghasilkan keuntungan ekonomis setara US$ 121.000 per km2 luasan karang. Namun hal ini akan menyebabkan kerugian dari perikanan tangkap setara US$93.600, perlindungan pantai setara US$260.000, dari pariwisata setara US$481.900, kerusakan hutan setara US$ 67.000 dan kerugian lain (penyediaan pangan dan keanekaragaman hayati) yang belum bisa dihitung secara kuantitatif.

Singkatnya, terumbu karang di Indonesia diperkirakan mempunyai total nilai ekonomis setara US$912.500 per km2. Selama ini, terumbu karang di Indonesia selalu dieksploitasi secara tidak ramah lingkungan (environmentally non-benign) dan tidak berkelanjutan (unsustainable) seperti penambangan karang contohnya. Padahal, pemanfaatan seperti itu memberi manfaat ekonomis yang jauh lebih rendah dibanding pemanfaatan secara berkelanjutan.

Singkatnya, berbagai temuan ilmiah telah membuktikan pemanfaatan karang secara berkelanjutan memberi keuntungan ekonomis hampir delapan kali lipat dibandingkan dengan usaha penambangan karang yang tidak berkelanjutan. Dalam 100 tahun terakhir, ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mengalami tingkat kerusakan sepuluh kali lipat dibandingkan dengan kondisi alami pada tahun 1900-an.

Kebijakan Penambangan Karang
Melihat fakta terumbu karang Indonesia yang semakin menurun saat ini, sudah sewajarnya jika kebijakan pemberian kuota terhadap penambangan karang ditinjau kembali. Disinyalir kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat ini turut memberikan kontribusi terhadap berkurangnya terumbu karang Indonesia. Pemerintah melalui Ditjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memberikan kuota penambangan karang pada 15 wilayah perairan di Indonesia untuk kepentingan ekonomi, yakni perdagangan di dalam negeri maupun ekspor.

Berdasarkan Surat Keputusan Ditjen PHKA No 33/IV-KKH/2007, besarnya kuota pada tahun 2007 mencapai 1,7 juta bongkah karang dan 405 ton karang yang tidak bisa diidentifikasi. Dari kuota tersebut, diperkirakan luas terumbu karang di Indonesia akan berkurang sekitar 350 ha per tahun. Jika keran kebijakan kuota pengambilan karang tetap dibuka, maka hal ini merupakan ancaman serius terhadap ekosistem laut Indonesia dan akan semakin mempercepat kerusakan terumbu karang di Indonesia.

Kendala lain adalah kebijakan tentang kuota ini belum tersosialisasikan secara merata kepada semua pemerintah daerah di Indonesia. Hal ini sering menimbulkan ketidakjelasan, bahkan konflik, di wilayah-wilayah perairan di mana penambangan karang diizinkan. Contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur yang menimbulkan sengketa antara Pemerintah Alor, PT Subur Mas dan BKSDA NTT.

Sebagai upaya menjaga sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk terumbu karang, Departemen Kelautan dan Perikanan mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU-PWP) kepada DPR. Pada tahun 2007 ini, DPR telah menyetujui RUU-PWP tersebut. Pasal 73 ayat 1a menyatakan, kegiatan menambang dan mengambil terumbu karang merupakan kegiatan melanggar hukum, termasuk penggunaan bom dan sianida.
Mudah-mudahan UU-PWP ini nantinya dapat diberlakukan secara efektif untuk melindungi terumbu karang Indonesia dari kerusakan, sehingga Indonesia tetap menjadi jantung segitiga karang dunia.

Penulis bekerja pada TNC-CTC: The Nature Conservancy's Coral Triangle Center.
sumber : http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=23875

Minggu, November 11, 2007

Perluasan Bandara Ngurah Rai, antara Impian dan Kenyataan

oleh Marthen Welly

SEJAK didirikan Bandara Ngurah Rai telah menuai kritik, karena landasan pacunya yang sebagian didirikan dengan mereklamasi laut di wilayah Tuban, Bali Selatan itu ditunding sebagai salah satu penyebab terjadinya abrasi yang cukup parah di pantai Kuta. Akibat landasan pacu yang menjorok ke laut, sehingga arah arus yang semula dapat mencapai bibir pantai Tuban, berbelok arah membentur pantai Kuta sehingga menyebabkan abrasi.

Beberapa hal perlu dikaji apakah perluasan Bandara Ngurah Rai lebih banyak memberi manfaat buat Bali atau justru banyak menimbulkan masalah. Grand design pariwisata Bali jangka panjang pun sangat erat terkait dengan kebutuhan lapangan terbang yang memadai, aman, dan modern. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, apakah saat ini Bandara Internasional Ngurah Rai sudah tidak mampu lagi mengakomodasi pesawat-pesawat yang datang membawa para turis baik domestik maupun mancanegara? Lantas apakah kapasitas daya dukung lingkungan di Bali siap jika proyeksi kedatangan para turis ke Bali akan ditingkatkan dua kali lipat dari katakanlah 5.000 orang turis per hari menjadi 10.000 orang turis per hari dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang misalnya?

Jika landasan pacu Bandara Ngurah Rai harus diperpanjang, pilihannya adalah kembali mereklamasi laut atau mengorbankan hutan bakau (mangrove). Dari sisi lingkungan hal ini sangat tidak menguntungkan. Saat ini di tengah isu pemanasan global dan meningkatnya permukaan air laut akibat melelehnya es di kutub, negara-negara kepulauan di dunia tengah bersiap-siap untuk melindungi pulau mereka. Terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau adalah benteng alami yang wajib dipertahankan untuk menghambat empasan gelombang atau naiknya air laut ke daratan. Pantai utara Jakarta adalah contoh nyata, akibat hutan bakau banyak dikonversi menjadi perumahan dan tempat industri, maka belakangan ini air laut kerap naik ke daratan dan menyebabkan banjir. Hal ini dapat juga terjadi di Bali Selatan, jika hutan bakau yang ada terus dikonversi menjadi perumahan, sarana wisata, termasuk bandara. Hutan bakau juga merupakan benteng alami yang dapat mengurangi empasan air laut jika tsunami terjadi.

Konflik kepemilikan lahan antara pihak hotel dan restoran dengan masyarakat, kian kerap terdengar. Meningkatnya jumlah turis yang datang ke Bali, menuntut tersedianya sarana yang memadai termasuk hunian kamar di hotel atau resort. Akibatnya hotel-hotel baru terus dibangun, dan konversi lahan-lahan pertanian juga terus berlangsung, demikian juga dengan pantai. Secara sosial kedatangan jumlah turis yang semakin banyak, juga perlu diimbangi dengan peningkatan pengamanan. Kejahatan yang dilakukan para turis juga sering kita dengar mulai dari penggunaan dan peredaran obat-obatan terlarang hingga perbudakan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.

Masih segar di ingatan dan berlangsung hingga saat ini perjuangan Pemda Bali untuk mendapatkan porsi pembagian pendapatan yang lebih besar dari Bandara Ngurah Rai. Secara ekonomi, pendapatan dari Bandara Ngurah Rai justru lebih banyak dinikmati oleh pusat, sementara Bali sang pemilik lahan tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan. Di sisi lain, dampak-dampak yang ditimbulkan akibat keberadaan Bandara Ngurah Rai sepenuhnya harus ditanggung oleh Bali.

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut, jelaslah bahwa keinginan untuk memperluas Bandara Internasional Ngurah Rai perlu dikaji ulang, paling tidak ditunda sampai menemukan alternatif yang lebih baik. Jika kebutuhan bandara semakin tinggi untuk mengantisipasi kenaikan jumlah turis yang datang ke Bali di masa-masa yang akan datang, salah satu alternatif yang layak dipertimbangkan adalah membuat bandara baru di Bali Utara. Hal ini bukan saja akan dapat membagi beban yang saat ini dihadapi oleh Bandara Internasional Ngurah Rai, akan tetapi juga mempercepat pemerataan pembangunan di Bali Utara, termasuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat di Bali Utara.

Pertimbangan perluasan Bandara Internasional Ngurah Rai hendaknya tidak didasarkan pada mimpi bahwa Bali akan menjadi tujuan pariwisata terbesar di Asia, apalagi demi menaikkan prestise semata. Akan tetapi berdasarkan perhitungan-perhitungan matang berdasarkan kenyataan yang ada saat ini.

sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/10/o3.htm

Rabu, November 07, 2007

Global Warming dan Terumbu Karang

Oleh Marthen Welly

Akhir-akhir ini pembicaraan mengenai pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan perubahan iklim (climate change) kian ramai dibicarakan dan menjadi pusat perhatian dunia. Terlebih lagi, pada bulan Desember yang akan datang, perhelatan tingkat dunia mengenai perubahan iklim akan diadakan di Bali dibawah koodinasi perserikatan bangsa-bangsa. Pertemuan akbar yang disebut COP 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) akan dihadiri kurang lebih perwakilan pemerintahan 120 negara dan sekitar 10.000 peserta.

Pada intinya agenda utama UNFCCC adalah mempersiapkan bumi kita ini agar dapat mengurangi pemanasan global dan mengatasi dampaknya. Beberapa isu utama yang akan dibahas seperti kerusakan hutan,perdagangan karbon, dan penerapan protokol Kyoto. Sejauh ini hutan dipercaya sebagai paru-paru dunia yang dapat mengikat emisi karbon yang dilepaskan ke udara oleh pabrik-pabrik industri, kendaraan bermotor, kebakaran hutan, asap rokok dan banyak lagi sumber-sumber emisi karbon lainnya, sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global.

Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan cukup luas di dunia, sangat memainkan peran penting untuk bisa menjaga paru-paru dunia. Namun sesungguhnya Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan, juga memiliki fungsi dan peran cukup besar dalam mengikat emisi karbon, bahkan dua kali lipat dari kapasitas hutan. Emisi karbon yang sampai ke laut, diserap oleh phytoplankton yang jumlahnya sangat banyak dilautan, dan kemudian ditenggelamkan ke dasar laut atau diubah menjadi sumber energi ketika phytoplankton tersebut dimakan oleh ikan dan biota laut lainnya.

Namun, pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang merupakan jantung kawasan segitiga karang dunia (heart of global coral triangle). Pemanasan global telah meningkatkan suhu air laut sehingga terumbu karang menjadi stress dan mengalami pemucatan/pemutihan (bleaching).Jika terus berlangsung terumbu karang tersebut akan mengalami kematian. Disisi lain coral triangle memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Lebih dari 120 juta orang hidupnya bergantung pada terumbu karang dan perikanan di kawasan tersebut. Coral triangle yang meliputi Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor leste, Papua New Guinea and Kepulauan Salomon ini, merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu karang.

Melihat peran dan posisinya yang strategis, maka President Republik Indonesia – Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan APEC di Sydney baru-baru ini, telah mengumumkan sekaligus mengajak negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Pacific untuk menjaga dan melindungi kawasan segitiga karang dunia yang dikenal dengan nama Coral Triangle. Indonesia bersama lima negara lainnya yaitu Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea and Kepulauan Salomon mengumumkan sebuah inisiatif perlindungan terumbu karang yang disebut Coral Triangle Initiative (CTI). Ke-enam negara yang tergabung dalam CTI disebut sebagai CT6. Inisiatif ini juga telah mendapatkan dukungan dan respon yang positif dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia.

Coral triangle adalah sebuah kawasan di Asia-Pacific yang dalam 2 dekade belakangan ini menjadi pusat penelitian para ahli kelautan dunia. Pada tahun 2005, The Nature Conservancy Coral Triangle Center (TNC-CTC) – sebuah lembaga konservasi internasional yang juga menjalankan programnya di Indonesia dan negara-negara pacific, mengadakan sebuah workshop internasional di Bali dengan dihadiri para pakar kelautan dunia, dengan tujuan untuk menetapkan batas cakupan wilayah coral triangle. Pada akhir workshop,para pakar kelautan berhasil memetakan coral triangle yang mencakup 6 negara dengan luas total terumbu karang 75.000 Km2. Indonesia sendiri memiliki luas terumbu karang sekitar 51.000 Km2 yang menyumbang lebih dari 21% luas terumbu karang dunia.

Departemen Kelautan dan Perikanan, TNC-CTC, WWF Indonesia, dan Departemen Kehutanan secara bersama-sama menggagas CTI. Dan saat ini CTI telah menjadi salah satu agenda utama Indonesia bersama 5 negara lainnya. CTI akan lebih disuarakan dan disosialisasikan selama pertemuan UNFCCC sehingga mendapatkan dukungan yang lebih besar dari masyarakat internasional.

Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut, terutama terumbu karang melalui CTI sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan dan upaya mengurangi kemiskinan. Mengingat fungsi penting terumbu karang adalah sebagai tempat berkembang-biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan dan biota laut lainnya. Jika terumbu karang terjaga baik, maka sumber perikanan juga akan terus memberikan pasokan makanan bagi manusia, termasuk sumber protein. Ditambah lagi fungsi terumbu karang juga adalah sebagai pelindung alami pantai dari gempuran ombak dan aset pariwisata bahari.

Suatu langkah yang tepat dan strategis jika Indonesia berinisiatif untuk menyuarakan sekaligus memimpin CTI, mengingat Indonesia merupakan negara dengan luas terumbu karang terluas dan keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia. Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia sekitar 81.000 Km yang melingkupi lebih dari 17.500 pulau. Berdasarkan penelitian TNC-CTC dan para mitranya pada tahun 2002, kepulauan Raja Ampat di Papua Barat, Indonesia memiliki 537 jenis karang yang merupakan jumlah tertinggi di dunia, dan merupakan 75% jenis karang dunia yang pernah ditemukan. Jika Indonesia tidak menyuarakan dan mengambil inisiatif untuk perlindungan terumbu karang di coral triangle, maka negara-negara lain seperti Philipina atau Malaysia yang akan menyuarakan sekaligus memimpin CTI. Dengan memimpin CTI, Indonesia mendapatkan peran dan posisi penting dalam upaya perlindungan terumbu karang dunia. Sekaligus melindungi aset bangsa yang tak ternilai harganya.

Pembentukan jejaring Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang tangguh dan dikelola secara efektif merupakan bentuk nyata dari impelementasi CTI. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi paling tidak 10 juta hektar laut di perairan Indonesia pada tahun 2010. Saat ini paling tidak 5 juta hektar telah dibentuk KPL di Indonesia yang meliputi Kepulauan Raja Ampat, TN Teluk Cendrawasih, Kepulauan Wakatobi, Kepulauan Derawan, TN Komodo, TN Bunaken, TN Karimunjawa, TN Kepulauan Seribu, dan TN Takabonerate.

sumber : www.indonesiareef.com
www.balebengong.net

Minggu, September 30, 2007

Breaching Grounds - Raja Ampat

by Marthen Welly

The golden sky glimmers in the east, as the day dawns upon the stunning sphere of Raja Ampat. And it happened to be the dawn of an unforgettable adventure… an encounter with orcas at this heart of the world-renowned global coral triangle...

At first light, the monitoring team of The Nature Conservancy (TNC) was fully occupied with the various activities of checking and preparing the monitoring and diving gear, fueling the speedboat, checking engines, reviewing logistics and provisions, and checking navigation and communications equipment. On this day, the team is to carry out ecological monitoring routines on reef health and fish spawning aggregation sites around Misool, in the southern part of the Raja Ampat archipelago.

Within the hour everything was set, and Andreas Muljadi, leader of the monitoring team, passed the order to the speedboat captain to depart from Sorong harbor. The speedboat, named Fayam - "eagle ray" in the local Matbat language, cruised out to sea at a gradual speed, bringing the team to the area which is widely considered as the archipelago's 'Marine Mecca'.

The sky had turned to clear blue as the team reached the Dampier Strait, which is between the islands of Batanta and Waigeo. It was just eight o'clock. Several small islands started to come into view with their soft white sands and vivid, breathtaking coral surroundings. Andreas sat at the bow of Fayam, taking in all the joy of seafaring, while the other team members sat at the back of the vessel.

Suddenly Andreas saw a spout of seawater in the air in the distance... "Whale!" Andreas cried. The team members tried to figure out the whale's position. The captain slowly steered Fayam toward what seemed to be a pod of whales. As they approached, the engines were taken out of gear and silenced. Six whales came into view, swimming and playing in water.

Two whales curiously approached Fayam's starboard as the boat drifted to a stop while the other whales flapped their flukes in the water and jumped and spun their bodies. The two that approached Fayam were more inquisitive and seemed to observe the speedboat that carried the monitoring team. They swam and dove under the boat and emerged the other side.

The team was thrilled and very happy because this whale species that have come so close to them at this moment were orcas (Orcinus orca) - killer whales. These toothed whales are known to inhabit colder seas, grow up to over 7 meters long, have tall dorsal fins, and feed mainly on fish and squid. This species is uncommon in Indonesian waters. Orcas have a unique black and white color combination, making it very easy to recognize them - a sighting that caught us by surprise.

We didn't want to lose this incredible moment. Andreas grabbed his camera and took a number of photos. The other team members watched on uttering constant remarks about their physical appearance and behavior. They also made sure of recording the coordinates with Global Positioning System.

Raja Ampat's local community has frequently seen orcas around Kofiau-Boo Island. On several occasions they discovered orcas swimming off the beach at the front of their village. The locals call these visiting cetaceans rowetroyer and hold this intelligent sea mammal in high regard. If they come across an orca during fishing, they will head back to shore as a sign of respect for the orcas; they don't want to spoil the creatures' activities.

Time passed fast. For over an hour that the team observed the pod. It was then nine o'clock and the team continued on their trip to Misool.

Upon arrival, they went to Haitlat Island which was the first site for monitoring reef health and fish populations. The team prepared their diving and monitoring gear and go ready. Monitoring is conducted at three depth levels; 4, 8 and 12 meters and is repeated five times at each level.
After three days of monitoring, the team finished data collection around the seas of Haitlat, Laitat, Masawan, Konawat, Senyu Besar, and Senyu Kecil Island and the coastal area of north and southeast Misool. On the fourth day, the team headed back to Sorong.

Tired from a long sea journey, the team members were back with big smiles on their faces, a sigh of relief from completing a successful mission, as well as the unforgettable experience of spending half of the journey with these incredible sea mammals. From the bottom of their hearts, they prayed for the protection of Raja Ampat's marine richness in which orcas find comfort during their seasonal ocean passing, and perhaps making its waters their 'home'.

fotografer : Adityo/TNC
source : http://www.baliandbeyond.co.id/archieves/archieve-frameset.htm

Derawan Islands: The Turtle Tale

by Marthen Welly

Derawan islands form a part of the global coral triangle, the paradise for three species of turtle: green, hawksbill and leatherback.

During nesting seasons, hundreds of sea turtles go out each night to lay eggs on soft, white, sandy beaches. Crystal clear water over a stretch of breathtaking corals and colorful fish tempts visitors to swim, snorkel or dive. Silhouettes of coconut trees and local fishermen on their wooden boats sailing off toward the sunset are an unforgettable draw of the idyllic Derawan Islands in East Kalimantan.

In the early mornings or late afternoons, one can easily find several adult sea turtles swimming not far from the beach or close to the jetties. Night divers in Derawan will be enthralled to catch sight of countless sea turtles sleeping around the reef.

Sea turtles are a Jurassic marine animal with a hard carapace to protect its soft body. Sea turtles now and again need to swim on the seawater surface to breathe. They feed on sea grass, small fishes and prawns. Turtles can swim thousands of miles during migration in certain seasons. Their eggs are tender and appear like a ping pong ball. Having a life expectancy of 30 years, sea turtles instinctively return to their nesting grounds on the same beach where they were born. An adult sea turtle has a diameter of about two meters and on average weighs around 300 kilograms.

Derawan Islands is an important nesting site for sea turtles in Southeast Asia. There are three kinds of sea turtles found around the Derawan Islands: the green, hawksbill and leatherback turtles. These islands, being part of the coral triangle, form the regionís largest nesting ground for the green sea turtles.

The Derawan Islands are located in the Berau district of East Kalimantan, the major islands being Derawan, Maratua, Samama, Panjang, Kakaban and Sangalaki. One can reach these islands from Surabaya, East Java or Jakarta with a stopover at Balikpapan and Tanjung Redeb, East Kalimantan. Derawan, Maratua, Kakaban, Samama and Sangalaki Islands all potential marine tourism areas can easily be accessed from Tanjung Redeb, the capital of the Berau district. A trip on a speed boat would take around three hours through the Segah River one may even catch a glimpse of the endangered freshwater Irawadi dolphins! Various types of accommodation are available on Derawan, Maratua and Sangalaki.

Kakaban Island is unique; at its center is a salt lake home to endemic brown-colored and transparent stingless jellyfishes. One can swim or snorkel in this lake, amidst thousands of these facsinating creatures. Diving sites around this island are amazing as well. Barracuda Point is one of the favorites. Over a hundred barracudas can be found in the waters here.

Another popular site near Sangalaki Island is Manta Ray Point. Sometimes, more than 50 rays (two-three meters in diameter) can be seen in a single sighting. Furthermore, Sangalaki Beach is one of the nesting sites for green turtles. Due to turtle egg poaching by people and also natural predators, there is an on-going effort to protect the eggs around the island. Some of these eggs are taken to a nursery and when they hatch, the baby turtles are released out to sea. Visitors can help set the baby turtles free, making it one of the Derawan’s highlights.

Panjang Island offers another interesting dive site. Strong currents and underwater caves make this site different from the others, and is recommended for advanced divers only. On the other hand, the sea around the islands is one of the migratory routes in Indonesia for whales and dolphins. If you are lucky, you can see more than a hundred whales and dolphins in several shoals. Research conducted by the conservation NGOs TNC-WWF joint program found that bottlenose dolphins and pilot whales are just a few of the cetaceans found in this area.

Coral reefs, important ecosystems for sea turtles and fish, face threats caused by human activities. These include the practice of destructive fishing methods such as bombs and cyanide, some types of nets, anchoring, and irresponsible divers and tourists during water activities. Damage to the reefs has caused the decrease in fish populations and fish, an important source of protein for people, are getting scarce.

The Berau local government and a number of NGOs have strived to restore the condition of the coral reefs. Recovery process can take decades due to the fact that corals grow only around three centimeters a year. The government has put measures to stop destructive fishing methods that will harm its coastal assets, especially turtles and coral reefs.

Derawan Islands is one of the priorities for marine conservation in Indonesia. The Berau local government, working together with a number of international and local NGOs, has declared a Marine Protected Area (MPA) protecting its marine and coastal areas, covering more than 1.27 million hectares to protect sea turtles and valuable coastal ecosystem. The local government is also eager to develop sustainable marine eco-tourism within this area and have encouraged the development of hostels, managed by the local people.

Today, more support is needed to protect the beautiful Derawan Islands with their underwater bounty. When some day we return to these memorable islands with our children and grandchildren, we want them to easily find the turtles nesting in peace.

fotografer : Anton Wijonarno/TNC
source : http://www.baliandbeyond.co.id/archieves/archieve-frameset.htm

Jumat, September 28, 2007

Paradise of Indonesia's Underwater

by Marthen Welly

The Wakatobi Islands are located in Southeast Sulawesi, and include the four main islands of Wanci, Kaledupa, Tomia and Binongko, with many other smaller islands as well. The majority of the residents in the Wakatobi Islands are from the Liya and Bajau tribes.

The Wakatobi Islands are known as one of the best diving sites in Indonesia, with spectacular coral gardens and a diverse range of fish. Since 1996, the Indonesia government under the Forestry Department has declared the Wakatobi Islands to be a National Park, with a total geographic area of 1.3 million hectares.

You can reach Wanci Island by sailing in a wooden boat for 12 hours from Kendari (the capital city of Southeast Sulawesi). Another alternative is to take a speed boat from Kendari to Bau-Bau in the Buton District (about 4 hours) and then continue using a wooden boat to get to Wanci (about 10 hours). All the exhaustion from your trip will disappear when you look out at the white sand on the beach, the coconut trees and crystal clear water, so clear that you can see the coral and fish right from the boat. In certain seasons, groups of whales and dolphins can be found in the waters around Wakatobi during their migration.

An island that is often visited by divers is Hoga Island. Hoga is small island located two miles off the northern part of Kaledupa Island. There is a resort on this island for tourism and research accommodations. Every year many students and researchers from around the world come to do research on coral, reef fish, and the marine ecosystem. There are several diving points on Hoga Island, and one of the most famous is the Outer Pinnacle around Hoga channel.

The first time diving at Outer Pinnacle point, you will find that the reef is around 10 meters deep, and that it looks like a zigzag dragon's back more than 500 meters long. Both sides of the spine have a drop-off contour with dark-blue seawater. At the end, in around 30 meters of water, there is tunnel about 5 meters long and you can swim inside and get all the way through to the other side. There is a diversity of coral and many big fish, such as the Napoleon wrasse (Chelinus undulates), groupers (Ephinephalus sp.), and snapper (Lutjanus sp.)

Kaledupa Reef is another interesting dive site in Wakatobi. The reef there is the longest reef-plat in Indonesia, stretching 6 kilometers between Kaledupa and Tomia Island. This reef is located 5 miles from the southern part of the Kaledupa and Tomia Islands. Sometimes you can find sea turtles (Chelonia midas) and manta rays (Manta birostris) around the Kaledupa reef.

Runduma is an island in the northern part of Wakatobi that is usually referred to as Turtle Island. During high season there are more than 20 turtles that come to the beach to lay their eggs. Unfortunately, many outside fishermen come to this island and poach the sea turtle eggs. Due to this island's location far away from the main island, it is difficult for the park rangers to control the poaching. The dive point on this island is the Anano reef. You can find a lot of sea fans there, with pygmy sea horses and anemones with clown fish as well.

Mari Mabuk "let's get drunk" at Tomia Island is a dive point that has strong currents and waves. This is natural since it is located in the open sea. It has the highest abundance of fish as based on a TNC-WWF joint program survey, and one of the spawning aggregation sites (SPAGs) for groupers.

The fairest island in Wakatobi is Binongko Island. The other name for it is Tukang Besi Island. This is because Binongko has a lot of iron workers (tukang besi). There are several diving points in this island, and the most well known are Kentiole and Koromaho, located in the eastern part. These diving points have drop off contours like a wall where you can find many reef sharks (black-tip).

There are a lot of interesting diving points in the Wakatobi Islands, one of the best places to dive in Indonesia and even in the Asia-Pacific region. Wakatobi Island is paradise for divers, and needs collaboration and strong effort to preserve this valuable asset for Indonesia.

sumber : http://www.baliandbeyond.co.id/archieves/archieve-frameset.htm